Rumah Digusur Tanpa Ada Kompensasi, Warga Layangkan Surat ke Presiden

BREBES SRI- Media Com.Empat warga Kampung Kebonsari Jl. Plampitan, Semarang mendatangi kantor BREGAS di Kelurahan Gandasuli, Brebes. Mereka datang untuk menyampaikan ihwal nasib rumah mereka yang digusur sejak tahun 2016 silam. Mereka diantaranya Ayub Nur Ch (58), Ibu Dwi Suci Lestari (58), Ong Sing Tjwan (68) dan Sutrimo (54).

Kepada awak media, mereka mengaku kalau rumah yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu itu kini telah rata dengan tanah setelah pihak pengadilan memenangkan penggugat dalam hal ini Bambang Nugroho.

Ayub Nur Ch (58) menduga telah terjadi tindak Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) terhadap penggusuran rumah warga. Bahkan telah terjadi ketidakselarasan antara fakta di lapangan dengan putusan pengadilan dimaksud.

Atas ketidak adilan itu, ia bersama 14 warga lainnya sepakat untuk melayangkan surat ke Presiden RI Joko Widodo sebagai upaya terakhir dalam memperjuangkan hak atas tanah dan rumah yang telah digusur tanpa adanya kompensasi apapun.

“Kami akan melayangkan surat terbuka kepada Presiden. Semoga bapak Joko Widodo bisa mengerti atas keadaan warga Kampung Plampitan yang terzolimi atas keputusan pengadilan,”ujar Ayub Nur Ch, Kamis (7/4/2022).

Diceritakan Ayub, pada tahun 1898 orang tuanya (kakek, red) telah menempati tanah sewa (tanah partikelir) di Kampung Kebonsari Jl. Plampitan Semarang, milik Koh Liem Hing Ien. Beberapa tahun kemudian, karena tanah sewa untuk bangunan itu telah menjadi perkampungan, maka dibuatlah tembok pembatas antara tanah perkampungan itu dengan tanah yang ditempati Koh Liem Hing Ien.

Selanjutnya pada tahun 1908, kepemilikan tanah sudah beralih ke pemilik yang baru yaitu Tan Goen Soei. Pemilik terakhir ini lalu mendirikan sebuah yayasan yang bernama “Societeit Hwa You Hwee 1 Wan”. “Kepada yayasan inilah terakhir kami membayar uang sewa,”terang Ayub.

Lalu, pada tahun 1958 yayasan tersebut kemudian terlibat G.30.S.PKI. Hingga akhirnya gedung milik yayasan tersebut diambil alih oleh TNI, dan kemudian dijadikan sebagai asrama TNI.

“Pada saat TNI membangun asramanya itu, rumah-rumah warga yang sudah berdiri tidak di usik. Kemudian mulai tahun 1960 warga tidak lagi dipungut uang sewa karena tanah tersebut sudah menjadi tanah negara,”jelas dia lagi.

Namun, lanjut dia, warga di kejutkan dengan munculnya Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 34 atas nama Suwendro. Warga bahkan tidak pernah dimintai persetujuan atas pengukuran tanah untuk kepentingan penerbitan SHGB dimaksud.

“Sesuai pasal 35 UU Nomer 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, seharusnya warga lah yang berhak memiliki SHGB. Karena sudah ratusan tahun menempati tamah tersebut,”jelas dia.

Kemudian pada Tanggal 24 September 1980, SHGB No. 34 itu telah berakhir masa berlakunya dan tidak dapat diperpanjang lagi, serta telah diblokir oleh saudara M. Basri yang dulu selaku kuasa hukum warga Kampung Kebonsari Plampitan.

Dia bersama belasan warga lainnya memohon kepada Presiden agar dilakukan peninjauan kembali atas perkara tersebut yang telah menyebabkan warga kehilangan tempat tinggal yang telah dihuni sejak tahun 1898. (Harviyanto)

MENCARI KEADILAN – Empat warga Kampung Kebonsari Jl. Plampitan Semarang mendatangi kantor BREGAS untuk menceritakan nasib rumah mereka yang tergusur.**Red

Tinggalkan Balasan