Bogor SRI-Media Com. – Ziarah kubur bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi hal yang biasa dilakukan untuk mendoakan arwah yang dikubur dan introspeksi diri mengingat kematian. Kebanyakan peziarah berdoa di makam orang tua, keluarga, kerabat, ataupun orang terkasih. Adab orang yang berziarah adalah bersikap layaknya tamu yang mendatangi kediaman yang sudah wafat dengan oleh-oleh doa dan terkadang disertai bunga.
Bagaimana ziarah kubur/ceng beng bagi masyarakat Tionghoa
Bangsa Tiongkok mempercayai bahwa awal Sembahyang Ceng Beng atau Qing Ming adalah dari zaman kekaisaran Zhu Yuan Zhang, yang merupakan pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M).
Zhu Yuan Zhang berasal dari keluarga miskin. Ia bergabung dengan para pemberontak sorban merah yang merupakan kelompok pemberontak anti Dinasti Yuan/Mongol. Kemudian berkat kecakapannya, dalam waktu singkat dirinya mendapatkan posisi penting dalam kelompok tersebut, untuk selanjutnya menaklukkan Dinasti Yuan (1271-1368 M), sampai akhirnya ia menjadi seorang kaisar.
Setelah menjadi kaisar, ia pun pulang ke kampung halaman untuk menjumpai orang tuanya. Namun sesampainya di desa, orang tuanya sudah meninggal dunia dan tidak tahu keberadaan makamnya.
Kemudian untuk mengetahui keberadaan orang tuanya, sebagai seorang kaisar maka Zhu Yuan Zhang memberi titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah makam leluhur dengan tujuan sambil membersihkan makam pada hari yang ditentukan.
Selain pembersihan makam, rakyat juga diperintahkan untuk menaruh kertas kuning di atas setiap makam sebagai tanda bahwa makan itu telah dibersihkan.
Setelah rakyat selesai berziarah, kaisar kemudian memeriksa makam-makam di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibersihkan dan tidak diberi tanda. Kemudian kaisah pun menziarahi makam-makan itu dengan asumsi bahwa diantara makam-makam itu pastilah makam orang tuanya, sanak keluarga, dan bahkan leluhurnya.
Hal inilah yang kemudian dijadikan tradisi setiap tahun dan diwariskan turun temurun sejak 5000 tahun silam menghormati leluhurnya. Ceng beng sendiri biasanya jatuh pada tanggal 5 April setiap tahunnya.
Seperti disampaikan Ocdy Susanto, selaku pemerhati kegiatan rohani dan budaya, bahwa pepatah orang Tionghoa, yaitu jika kita minum air maka harus ingat dari mana sumbernya, maka orang yang masih hidup harus selalu ingat kepada leluhurnya.
“Sembahyang ceng beng dipimpin oleh seorang Pandita. Saat ritual tahunan ini, semua arwah yang ada di makam itu didoakan,” terangnya.
Saat datang untuk berziarah ke makam orang tua, sanak keluarga, serta leluhur masing-masing, mereka juga merapikan serta memperindah makam, kemudian mendoakan arwah agar mendapatkan tempat terbaik disisi sang pencipta.
“Bagi orang Tionghoa, ziarah ini juga sebagai ajang reuni antar keluarga, karena pada saat ini selain karangan bunga untuk makam, peziarah ada yang membawa buah-buahan, makanan, dan minuman,” tandasnya.
Jadi walaupun berbeda agama atau keyakinan, namun bukan berarti tidak datang lagi atau sungkem ke makam orang tua.
Kemudian bagi keluarga peziarah yang mampu dari segi ekonomi, usai ziarah mereka berbagi suka dengan memberikan paket sembako kepada warga sekitar makam.
Menurut Ocdy, tradisi semacam itu perlu dilestarikan karena merupakan salah satu keragaman budaya di Indonesia. Apalagi di Indonesia menjunjung tinggi semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda namun tetap satu kesatuan Indonesia, sehingga warga negaranya terus membangun kerukunan antar umat beragama.
“Kegiatan seperti ini sangat menarik dari sisi budaya dan dapat mendatangkan wisatawan dari berbagai daerah sehingga juga akan menambah perekonomian warga sekitar makam,” tandasnya.
Tak lupa Ocdy mengajak agar etnis Tionghoa meluangkan waktu untuk ceng beng karena hanya setahun sekali. (Aan)