Haji Perjalanan Sosial Sarat Makna

Bandung-sri-media.com Ibadah Haji merupakan perjalanan sosial yang sarat makna. Padanya terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati. Haji adalah merupakan upaya penerapan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis. Demikian salah satu benang merah yang disampaikan oleh Dr (c) Ramdansyah MH, MKM, MA, MUd, MFil selaku Khatib Hari Raya Idul Adha, Kamis 29 Juni 2023 atau 1444 Hijriah di Masjid Matraman Jakarta Timur

“Coba lihat jamaah haji tawaf mengelilingi Ka’bah. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi yakni; Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik,” ujar Ramdansyah.

Perenungan tentang haji, menurutnya, mengungkapkan pertama kali sebelum berhaji, maka harus berihram. Berniat untuk melakukan haji dan menjalankannya. Visi suci haji adalah melepas keangkuhan dan ego yang lekat pada simbol baju yang putih tanpa jahitan. Saat istri pejabat, anak pejabat dan selebriti menampilkan flexing, maka pesan ibadah haji adalah menegasikan atau menolak hal ini. Flexing adalah perilaku seseorang yang memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau kemewahan yang dimilikinya. Biasanya yang dipamerkan adalah yang melekat pada tubuh orang tersebut. Benda-benda yang melekat seperti sepatu, jam tangan, baju dengan nilai ratusan hingga mencapai milyar rupiah

Ihram juga pertanda bahwa siapapun yang berhaji harus menggunakan pakaian putih
tanpa jahitan. Umumnya, tidak bermerek dan tidak ada simbol Dolce Gaban, Louis Vitton, atau merek-merek terkenal lainnya. “Di sini kita diingatkan bahwa flexing bukan tindakan yang tepat di saat banyak umat yang menderita kesusahan dan kelaparan,” katanya.

Selanjutnya dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Kita dilarang berhubungan seksual. Dilarang mencabut pepohonan, menyiksa binatang, menumpahkan darah, bahkan dilarang membunuh atau menumpahkan darah. “Dilarang juga berhias supaya setiap jama’ah
haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula nafsu birahi; dan bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani,” tegasnya. Dilarang pula menggunting rambut dan kuku supaya masingmasing menyadari jati dirinya dan menghadap kepada Tuhan sebagaimana apa adanya.

Semua benda yang melekat pada diri kita dapat melambangkan kekuasaan dan strata.
Namun dalam keadaan ihram, semua ini ditanggalkan agar manusia sederajat.
Manusia tampak sebagai manusia yang sama. Inilah humanisasi. Semua orang harus dihargai. Saat memakai pakaian non ihram simbol ego manusia menjadi lebih tampak. Tetapi, dengan pakaian ihram, ego-ego manusia dihilangkan.

Coba lihat ketika sholat hari ini di lapangan, khususnya di hari raya iedul fitri. Semua, terutama anak-anak ingin menggunakan pakaian baru dan merek yang sedang ramai di televisi, tik tok, atau tokopedia. Dengan sarung, baju koko atau kopiah yang dimiliki, maka dirinya ingin dikenali sebagai orang berkelas. Baju baru, sarung baru, kopiah baru dan sendal baru menjadi penanda bahwa kita berbeda. Kita bukan “kaleng-kaleng”, sementara yang pergi sholat dengan perangkat tahun-tahun sebelumnya adalah “kaleng-kaleng”.

“Ihram membebaskan strata, golongan, dan kasta dalam masyarakat. Islam memandang sama manusia. Haji menunjukkan kepada kita agar menjadi orang yang berpikir. Berpikir bahwa kita semua sama, kecuali ketaatan kita kepada Yang Maha Suci, Allah swt,” tutur Ramdan. ***red/sbr

Tinggalkan Balasan