Korban Dugaan Pelecehan oleh Pimpinan Puskesmas, Kasus yang Berulang di OKI ‘Pemerintah Hanya Sibuk Seperti Pemadam Kebakaran’

OKI – SRI MEDIA COM-Kasus pelecehan seksual di Puskesmas kembali terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Kali ini, seorang wanita pegawai honorer salah satu Puskesmas di OKI berinisial FB, diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum Pimpinan Puskesmas tempatnya bekerja. Departemen Perempuan DPD SWI OKI menyebut hal itu tidak boleh ada pembiaran karena kasus kejahatan seksual marak terjadi.

Kasus FB ini merupakan rentetan kasus pelecehan seksual di lingkungan instansi pemerintahan, khusus Puskesmas di OKI, kejadian ini adalah kasus yang berulang.

Departemen Perempuan DPD SWI OKI sendiri menyerukan kepada pemerintah agar belajar dari polemik ini untuk segera membuat aturan standar penanganan pelecehan seksual di tempat kerja.

“Pelecehan seksual sudah sangat marak bahkan di lingkungan fasilitas umum untuk masyarakat seperti Puskesmas hal ini bisa terjadi, tidak boleh ada pembiaran lagi,” kata Kepala Departemen Perempuan DPD SWI OKI Jahariyanti, ketika dihubungi awak media

Ia mengatakan polisi dapat menggunakan keterangan saksi untuk menangkap pelaku. Ia meminta polisi memproses secara hukum pelaku kejahatan seksual terhadap wanita itu.

“Polisi bisa memprosesnya secara hukum,” katanya.

Ia mengapresiasi tindakan korban yang melaporkan peristiwa tersebut ke polisi supaya tidak terjadi kejadian serupa. Menurutnya, masyarakat tidak perlu menyalahkan korban dari peristiwa tersebut.

“Tindakan korban melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya ke polisi sudah tepat. Masyarakat perlu memberikan dukungan kepada korban, jangan menyalahkan korban atas alasan apapun,” sambungnya.

Sebelumnya diberitakan, aksi pelecehan seksual tersebut dilakukan oleh oknum salah satu Pimpinan Puskesmas di Kabupaten OKI, berinisial HB.

Korban berinisial FB, didampingi orang tuanya bernama Jauhari Bustoni SH yang menjabat sebagai Panitra Muda di Kantor Pengadilan Agama Kayuagung, melapor ke Mapolres OKI pada Selasa (5/10/21) kemarin.

Berdasar keterangan orang tua korban, saat ditemui awak media di Mapolres OKI, modus yang dilakukan oknum pimpinan puskesmas tersebut adalah dengan mengantar korban yang ingin pulang ke rumahnya.

“Sekitar jam 11 siang dengan mengendarai mobil milik pimpinan puskesmas. Namun bukannya pulang ke arah rumah, mobil malah diarahkan menuju ke Kecamatan Teluk Gelam, dengan alasan yang bersangkutan ingin mengajak makan siang,” jelas Jauhari.

“Ditolak anak saya, kata anak saya tidak usah makan siang pak. Ibu saya sudah masak di rumah,” ujar korban yang ditiruhkan oleh ayah korban.

Di dalam mobil tersebut, lanjut dia, pimpinan puskesmas memegang tangan dan kemudian merangkul korban. Korbanpun berontak dan ingin turun dari mobil.

”Upaya itu dicegah oleh pimpinan puskesmas. Hingga mobil yang dikendarai sampai ke Desa Srinanti,” jelasnya.

Sesampai di rumah, lanjut ayah korban, FB nangis, lalu menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

“Akibat perbuatan ini anak saya trauma,” ungkapnya.

Pihak keluarga akhirnya memutuskan untuk melaporkan pimpinan Puskesmas tersebut ke Mapolres OKI.

“Kita juga akan malaporkan kejadian ini. Dengan pihak Inspektorat OKI, serta menyurati Dinas Kesehatan OKI. Agar mengganti pimpinan yang tidak bermoral tersebut,” tandasnya.

BUKAN KASUS PERTAMA

Kasus yang dihadapi FB bukan pertama kalinya terjadi di lingkungan Puskesmas di Kabupaten OKI. Kasus terkait dengan dugaan pelecehan seksual atau perbuatan asusila pernah terjadi di beberapa Puskesmas lainnya di Kabupaten OKI. Namun sayang beberapa kasus tersebut tidak berujung kepada pengaduan.

Kepala Departemen Perempuan DPD SWI OKI, Jahariyanti mengatakan belum mencatat ada kasus yang melibatkan pria namun dari data menyangkut perempuan kasus ini hanya fenomena gunung es.

“Itu betul kalau disebut fenomena gunung es. Karena karakter kasusnya. Ini karakter kasus di mana ada pola relasi yang sangat timpang antara atasan dan bawahan,” kata Yanti – sapaan Jahariyanti kepada Suara Publik.

Dalam satu kasus yang pernah ditemui Departemen Perempuan DPD SWI OKI yang terjadi di Puskesmas, pelaku justru dipindah kerja. “Dan, pelaku itu tetap menjadi seorang pimpinan di institusi puskesmas lain. Ini yang menjadi problem,” kata Yaanti.

“Upaya untuk mengangkat kasus ini tidak gampang, karena karakter kasus, atau karakter relasi kuasa [yang] timpang itu,” jelas Yanti.

Kasus-kasus di instansi pemerintahan seperti Puskesmas yang pernah ditemui oleh DPD SWI OKI sebagian besar korban adalah bawahan dari pelakunya.

“Karena pelakunya punya kuasa, sehingga juga kerugian korban bisa berkali-kali lipat akan dipersalahkan. Terus orang nggak percaya sama keterangan dia, karena lebih percaya sama orang yang relasi kuasanya lebih tinggi. Atau ketidakberanian orang lain untuk melakukan pembelaan,” kata Yanti.

Menurutnya, peristiwa ini akan terus terjadi karena sejauh ini umumnya instansi pemerintahan belum punya unit layanan pengaduan khusus. Akibatnya, korban akan sepanjang hidupnya bekerja dalam kondisi “takut dan trauma”.

“Kasus ini bukan sekali dua kali, tapi terus berulang terjadi. Dan kita hanya sibuk saja kayak pemadam kebakaran,” lanjut Yanti.

BERPEDOMAN PADA ETIK DAN DISIPLIN

Pembina DPD SWI OKI bidang Advokasi dan Hukum Aliaman SH mengatakan, “Kalau pelecehan seksual, kita lihat dulu kasusnya, sebatas apa. Tapi karena pelecehan sifatnya pidana, maka bisa gunakan KUHP saja.”

Sejauh ini, instansi pemerintah berpatokan pada hukum kode etik dan disiplin untuk penyelesaian kasus-kasus pelecehan seksual.

“Dasar Hukum PP 42/2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS; PP 53/2010 Tentang Disiplin PNS, dan Peraturan Kepala BKN 21 /2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 53 Tahun 2010,” kata Aliaman dalam pesan tertulis.

Namun, menurutnya, mekanisme ini perlu dievaluasi. “Untuk hal-hal terkait dengan pelecehan seksual dia tidak bisa lagi disebut pelanggaran disiplin atau kode etik. Dia harus ada step [langkah] yang lebih kuat lagi,” katanya.

Langkah tersebut adalah SOP pengaduan internal yang berpihak kepada korban, termasuk kemauan dari pimpinan instansi diatasnya untuk menyelesaikan.

“Mekanisme internal harus dibangun dan meyakinkan korban, atau mereka yang potensial jadi korban untuk berani melaporkan apa yang dialami,” tambah Ali.( M Tahan/Fuady)

Tinggalkan Balasan