Saya Berani Bilang Ini Akibat Kerusakan Ekologis

Bandung Barat-sri-media.com Kecamatan Cipongkor dan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, Minggu 24 Maret 2024 diterjang Tanah Longsor dan Banjir Bandang, di Kecamatan Cipongkor, Tanah Longsor menerjang Desa Cibenda, tak kurang dari 527 jiwa atau 142 kepala keluarga mengungsi, 3 luka berat, 33 orang luka ringan, 7 orang meninggal dunia, 3 orang tertimbun longsor dalam proses pencarian, sementara Banjir Bandang melanda Sungai Cijambu, mengakibatkan berbagai kerusakan yang cukup parah, di Desa Sirnagalih, 12 unit rumah terendam banjir, 6 rumah tertimpa longsor, dan 4 jembatan terputus, begitupun di Kecamatan Rongga, Tanah Longsor menerjang 63 rumah di Desa Sukaresmi, 12 rumah di Desa Cinengah, 4 rumah di Desa Bojongsalam, 6 rumah di Desa Cicadas dan 218 rumah di Desa Cibitung, bencana ini juga telah merusak sejumlah ruas Jalan Desa, Jalan Kabupaten dan Jalan Proyek PLTA Upper Cisokan, 50 hektare sawah siap panen yang berada di DAS Cijambu hancur luluh lantak dan ratusan warga mengungsi. Kerusakan Kawasan Hutan di Hulu Sungai Cijambu, menjadi Faktor Utama pemicu Bencana Tanah Longsor dan Banjir Bandang dan bukan hanya sekedar Faktor Cuaca, karena berdasarkan Peta Analisis Curah Hujan Jawa Barat dari Stasiun Klimatologi Jawa Barat, pada hari Minggu, 24 Maret 2024, curah hujan di Bandung Barat termasuk Kategori Ringan – Sedang (20-50 mm/hari ), Kerusakan Vegetasi Hutan Akibat Perambahan Hutan telah mengakibatkan ketidakstabilan tanah, air hujan yang jatuh langsung ke tanah akan mengakibatkan pecepatan daya serap tanah terhadap air yang berakibat tingkat kejenuhan tanah atas air lebih cepat, hal inilah yang telah memicu Tanah Longsor di perbukitan, mirip seperti kejadian Tanah Longsor dan Banjir Bandang di Cileuksa, Bogor Barat beberapa tahun kebelakang, Tanah Longsor dengan skala kecil dan besar terjadi secara bersamaan, menghasilkan tumpukan material longsoran yang bertumpuk dan membendung di anak anak sungai, lalu pecah secara bersamaan, menghasilkan Banjir Bandang yang mengerikan.

 

Lalu Siapakah yang harus bertanggung jawab atas hal ini ?, mungkin beberapa orang berpikir penyebabnya adalah Masyarakat, Pemerintah, Coorporate bahkan KehendakNYA dan itu hal yang Wajar, Lumrah dan Umum, akhir Tahun 2023, LSM Trapawana Jawa Barat menerima Laporan dan Informasi Lisan dari masyarakat, terkait adanya Aktivitas Penebangan Kayu di dalam Kawasan Proyek PLTA Upper Cisokan, atas laporan tersebut, kami telah mengirim surat Nomor:579/SP/TJB/08/2023 kepada FORKOPINCAM setempat, Perhutani KPH Bandung Selatan dan Kepala PLN UIP JBT 1, yang berisi tentang Permohonan Informasi dan Klarifikasi terkait, Apakah mekanisme yang dipakai oleh pemerakarsa, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau Tukar Menukar Kawasan Hutan ( TMKH ) ?, Apakah sudah keluar Surat Ijin tersebut dari Kementrian LHK ?, Jika menggunakan mekanisme Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH), apakah sudah ada lahan penggantinya ?, Jika sudah ada lahan penggantinya, dimanakah lokasinya ?, Penebangan yang sedang dilakukan di lapangan apakah sudah sesuai dengan PERMENHUT, Nomor:P.62/Menhut-II/2014 Tentang IZIN PEMANFAATAN KAYU ?, Pengeluaran kayu hasil penebangan dari lokasi, apakah sudah dilengkapi dengan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB)/FA-KB ?, Lokasi Penebangan apakah sudah sesuai dengan Rencana Kerja dan Dokumen AMDAL ?, Dugaan adanya Pungutan Liar dengan nilai 200 ribu rupiah /m3, apakah benar terjadi ?, Jika benar, apa dasar hukumnya ?, namun sampai dengan tulisan ini dibuat, Surat itu tidak pernah diperhatikan alias tidak digubris oleh Para Pihak.

 

Dikemudian hari diketahui bahwa PT PLN telah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dengan Nomor: 63/1/IPPKH/PMDN/2016, seluas 409 Ha untuk Lahan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan, merekapun diwajibkan menyiapkan Lahan Hutan Pengganti, seluas 1 berbanding 2 atau seluas 818 Ha, menurut informasi yang kami ketahui, hingga tanggal 1 Desember 2021 mereka baru menyediakan Lahan Hutan Pengganti seluas 152,273 Ha, itupun dalam kondisi Bukan Hutan, bahkan menurut informasi yang kami terima Lahan Hutan Pengganti tersebut terindikasi dibeli dari Masyarakat Penggarap yang Menggarap Lahan Perhutani, menurut kami posisi Lahan Hutan Pengganti tersebut seharusnya berada di Wilayah Hulu Sungai atau DAS Cisokan, sehingga bisa berpungsi sebagai Daerah Tangkapan Air (cathnment area) sekaligus Daerah Penyangga (bupper zone) untuk menjamin dan menjaga kestabilan serta ketersedian air bagi bendungan itu sendiri, disisi lain Penebangan Kayu dan Perambahan Lahan yang berada didalam Kawasan Hutan Negara yang di kelola oleh Perum Perhutani Divre III Jawa Barat & Banten, KPH Bandung Selatan, BKPH Gunung Halu, RPH Cijawal dan RPH Cacaban, jelas telah memicu terjadinya Banjir Bandang dan Tanah Longsor tersebut diatas, dikarenakan kawasan hutan tersebut merupakan Wilayah Hulu Sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisokan & Cijambu ini terlihat dari posisi perbukitan dan lerengnya mengarah kepada DAS tersebut, mungkin saja Penebangan Kayu di Kawasan Hutan Negara ini tidak terlalu signifikan secara Kuantitatif, namun untuk Perambahan Hutan, jelas sudah dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan, hal ini dipicu juga akibat Ketergantungan Masyarakat kepada hutan yang sangat tinggi dikarenakan ketersedian Lahan Milik yang sangat terbatas. Pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan, telah menempatkan kawasan hutan kembali menjadi korban sekaligus harapan, karena masyarakat yang sudah terbiasa menggarap lahan hutan, mulai bergeser ke wilayah kehutanan diluar lokasi proyek, meskipun sebenarnya hal seperti ini bisa saja bukan sebuah permasalahan apalagi dianggap suatu kesalahan, namun ketidaktaatan atas aturan dan peran oknum di lapangan telah menyebabkan Pemanfaatan Hutan berubah menjadi Perambahan Hutan yang berakibat kerusakan hutan itu sendiri, selain dari itu Komoditi Tanam yang tidak sesuai dan Intensifikasi Pengolahan Tanah yang sangat tinggi, telah mengakinatkan kawasan hutan yang seharusnya mampu Menyimpan Air dan Menahan Air di musim penghujan telah berubah, menjadi Penghasil Aliran Permukaan (Runn Of) yang sangat tinggi.

 

Terjadinya Tanah Longsor dan Banjir Bandang di Kabupaten Bandung Barat mulai menjadi Siklus Tahunan, dengan cakupan wilayah yang terus meluas dan berdampak signifikan, semestinya hal ini bisa diantisipasi, ditekan dan dikurangi melalui mekanisme Kebijakan dan Aturan, se lain Kondisi Topografi dan Geologi yang menjadi Factor Utama, perlunya Data Base tentang Potensi dan Ancaman Bencana yang akurat merupakan hal penting dalam menjalankan upaya Mitigasi Bencana, diantaranya berupa dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana, Tahun 2020-2044, untuk menjalankan penanggulangan bencana jangka panjang, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat melalui Program Legislasi Daerah (PROLEGDA), seharusnya mulai mau berpikir untuk sesegera mungkin meratifikasi berbagai Peraturan dan Perundang-undangan terkait berbagai Persoalan Kebencanaan, Perlindungan Penyelamatan Alam dan Lingkungan HIdup, sudah saatnya kini  Para Pemangku Kebijakan melakukan instrofeksi kedalam manajemennya, karena saya yakin ini bukan semata Persoalan Aturan, namun lebih kepada Persoalan Kualitas Sumber Daya Manusia, bahkan sangat mungkin juga terkait Persoalan Rasa (Sense Of), karena dengan Aturan, Sistem, Pola serta Program yang ada seharusnya kita sudah mampu menghadapi persoalan seperti ini, karena apapun aturannya, bagaimanapun polanya dan seperti apapun programnya akan hanya menghasilkan sebuah kehancuran, jika semua itu tidak pernah dilaksanakan dengan baik, benar dan penuh kesungguhan.

 

Atas kejadian ini LSM Trapawana Jawa Barat kembali melayangkan Surat Permohonan Dan Klarifikasi kepada PJ. Bupati Kabupaten Bandung Barat, Kepala PLN UIP JBT 1 dan Kepala Perhutani Divisi Regional III Jawa Barat & Banten, dengan Nomor: 179/SP/TJB/04/2024, hal ini kami lakukan atas  rasa heran dan tak habis pikir, bahwa sampai dengan hari ini tidak ada satu pihak pun yang berani menyatakan bahwa kejadian bencana ini adalah Akibat Kerusakan Ekologis “ Bencana Ekologis “, terutama PLN dan Perhutani hampir tidak terdengar dan bergeming, untuk sebatas ber empati saja sepertinya enggan atau mungkin mereka sudah mengantisipasi segalanya dengan hal hal seperti biasanya, dengan menggandeng kelompok kelompok yang biasa mem back up nya, sebenarnya saya sangat berharap kepada Para Pemangku Kebijakan, untuk sesegera mungkin duduk bersama, membuat perencanaan bersama, terkait apa yang akan dilakukan pada tahap Rehabilitasi dan Recovery pasca Tanggap Darurat yang sudah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Semenjak tahun 2000 kami mulai ikut mengambil peran dalam berbagai Kegiatan Penanggulangan Bencana, Tanggap Bencana dan mengadvokasi berbagai permasalahan lingkungan hidup dan didalam kegiatan kegiatan tersebut yang selalu menjadi permasalahan itu adalah Masalah Ego Sektoral yang dibungkus oleh kata Hirarki dan Kewenangan, yang padahal dalam Kandungannya adalah Pengelolaan Anggaran, bahkan untuk terlihat Partisipatif dibentuklah organisasi-organisasi yang seolah-olah dibentuk atas Inisiatif, yang padahal hanya untuk memenuhi Kadar Pembenaran serta Onani semata.

 

Penulis : David Riksa Buana, Ketua LSM Trapawana Jawa Barat

Tinggalkan Balasan